Cast : Do Kyungsoo (EXO) || Do
Minsae (OC) || Do Shinra (OC) || And Other
Length : TwoShoot (±1200 words)
Genre : Family, Sad,
Hurts, Angst (ga yakin berhasil), etc.
Rate : 9+
Author & Cover :
ChocoYeppeo
Disclaimer : Ini FF
imajinasiku sendiri. Gaada yang ikut campur disini. Jangan plagiat,
because kalo dosa ntar ditanggung sendiri. :"v
–—–––––Eomma—––––––
++ChocoYeppeo Present++
♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫
Dapatkah
teriakan putus asa kita didengar?
Kami
terus menahan mereka melalui semua yang telah kami alami
Bahkan
ketika kegelapan menemukan kami di jalan tak berujung
Kami
selalu di sisi masing-masing, berjalan bergandengan tangan
♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫
"KU
MOHON BERHENTI SEKARANG JUGA! KELUAR DARI RUMAHKU! Apakah kau tidak pernah
mengerti perasaan orang-orang yang tertindas seperti kami saat ini?
Bagaimanakah rasanya disakiti baik raga mau pun jiwanya? Apakah kau tidak
pernah memikirkan bagaimana jika kau yang berada di dalam posisi kami? Di dalam
posisi orang yang tertindas? Apakah kau sudah tidak memiliki rasa iba lagi?
Apakah kau melupakan bagaimana keadaan keluargamu yang berjuang sendiri tanpamu
seperti kami yang berjuang tanpa seorang ayah? APAKAH KAU TIDAK MEMIKIRKAN
BAGAIMANA SAKITNYA KAMI???!!! BAGAIMANA TAKUTNYA KAMI???!!! Ku mohon. Ini yang
terakhir. Aku lelah. Aku lelah. Berkali-kali kami diperlakukan semena-mena.
Berkali-kali kami tergores belati. Berkali-kali tamparan melayang di wajah
kami. Berkali-kali kami terhempas oleh senjata kalian. Tidakkah kalian memiliki
rasa peri kemanusiaan lagi? Tidakkah kalian, kalian para sekutu yang berasal
dari negara yang sempat menjadi satu dengan kalian itu, merasakan bagaimana
penderitaan kami? HENTIKANLAH SIKSA-SIKSA INI SEKARANG JUGA. Kami lelah.
Benar-benar tidak sanggup menghadapi hal-hal sejenis ini lagi. Kami mencoba
tetap semangat, kami mencoba tetap kuat. Tapi itu hanya tampak luar saja.
Bagaimana perasaan kami? Itu sakit. Tidakkah kau memikirkannya???... ITU
SAKIITT!!!!! Hiks... Hiks..."
Aku
melihat nyata. Yeodongsaengku keluar dari tempatnya sembunyi. Wajahnya
benar-benar merah. Tak lupa, air matanya telah mengguyur pipi yang tak persalah
itu. dia berlari, menghadap orang biadab itu. Entah apa yang dia pikirkan tadi
sehingga sekarang dia berani melakukan ini. Apakah ini yang pertama kalinya dia
menghadapi orang-orang bengis seperti itu? jawabannya adalah I.YA.
Sedetik
kemudian, dengan sigap aku menarik yeodongsaengku ke pelukanku. Aneh sekali.
Bersamaan dengan itu, orang yang benar-benar kejam itu keluar dari rumahku
tanpa meninggalkan suatu pesan apa pun. Aku cukup bersyukur karena dia telah
pergi dari kediamanku dengan keluarga kecilku ini. Akan tetapi, di sisi lain,
aku mingkin telah menangis sekeras-kerasnya, karena...ibuku.
"Ibu,
kau... kau tak mengapa?" tanyaku lirih. Tentunya perasaanku sedang tidak
baik sekarang. Ditambah lagi, yeodongsaengku yang terus menangis di dekapanku.
"Ah,
ambilkan kain di dapur nak. Jangan lupa air hangatnya juga. Aku tidak apa-apa.
Sebentar lagi aku akan sembuh. Kalian tidak perlu khawatir denganku. Hehe. Aku
tidak pantas untuk dikhawatirkan. Apalagi aku yang tadi gagal melindungi
kalian. Seharusnya aku meminta maaf kepada kalian. Aku terlalu lemah." Ya,
ibu masih tetap mencoba tersenyum kepadaku dan adik perempuanku. Bahkan tidak
hanya tersenyum, tetapi terkikik. Meski pun dengan keadaannya yang sekarang
bisa dikatakan...tidak bisa diharapkan lagi, tapi dia...
Terimakasih
ibu.
Aku
memang tak pantas menjadi pelindungmu.
Hanya
kau lah yang pantas disebut pahlawan.
Luka,
di sekujur tubuhmu.
Bukanlah
penghalang semuanya.
Kau
bahkan tidak takut menghadapi kematian demi kami, anak-anakmu.
Bisakah
aku membalas salah satu dari kasihmu?
Ku
mohon, satu saja.
Aku
tidak pantas menjadi anakmu jika aku saja tidak bisa membalas apa yang telah
kau berikan kepadaku selama bertahun-tahun.
Sejak
aku ada, mungkin aku selalu merepotkanmu.
Ibu,
날사랑해요...
"Ini.
Apakah aku bisa membantu?" ucapku sekembalinya dari dapur seraya
menyuguhkan sebaskom air hangat dan juga satu kain berwarna putih. Sepertinya
tidak pantas dikatakan putih lagi, karena kain itu benar-benar nampak kumal.
Warnanya sedikit kecokelatan. Ada bercak-bercak yang aku tidak ketahui bercak
apa itu. mungkin itu karena lama sudah tidak dipakai. Pasalnya, kain itu aku
temukan di nakas kecil pojok dapur yang memang di sana sudah terdapat sarang
laba-laba.
"Tidak
perlu. Sudahlah. Kau ini tidak perlu memasang wajah cemas seperti itu."
canda ibuku. Kenapa bercanda? Apakah dia tidak kesakitan?
'Kalian
adalah obat penyembuh yang paling mempengaruhiku. Aku hidup karena kalian para
malaikat kecilku. Aku bertahan karena kalian. Aku adalah seorang wanita yang
tidak bertanggung jawab jika aku pergi meninggalkan kalian dalam keadaan yang
tidak aman seperti ini. Aku sangat berterimakasih kepada kalian. Tanpa kalian,
mungkin aku sudah tidak bisa bertahan di dunia yang kejam ini.' Batin ibuku
yang saat ini sedang sibuk membersihkan sedikit darah yang ada di sekitar
perutnya. Bajunya pun pada bagian perutnya sudah berubah warna menjadi merah
darah. Apakah itu tidak kejam?!
"Ibu...tidak
akan...pergi 'kan?" ku dengar ucapan itu melayang begitu saja dari mulut
yeodongsaengku. Aku menoleh ke arahnya. Dia menangis. Sekarang indera penglihatanku
sedang menahan air matanya. Rasa takutku datang. Ku mohon. Tuhan... jangan
ambil ibuku. Aku mencintainya...
"Hahaha...
kau ini bicara apa hm? Tentu aku tidak akan pergi sayang..." balas ibu
sembari tersenyum kecut. Tangannya mengacak gemas rambut Shinra. Meski saat ini
dia sedang sedikit tertawa, tapi aku tahu bagaimana rasanya terkena benda tajam
yang dibawa orang menyebalkan tadi. Itu sakit. Bahkan sangaaattt sakit. Ibu,
kau sangat kuat! Aku bangga padamu!
"Nah,
sudah selesai. Sakitnya tidak terasa lagi sekarang," ucap ibu seraya
bangkit dan membawa baskom berisi air hangat tadi ke dapur. "Ibu seperti
ini.....berkat kalian.." lirihnya sambil berjalan.
Aku
dan adikku tersenyum haru. Apakah semua ibu di dunia ini seperti itu? jika iya,
ku mohon, Tuhan, bahagiakan seluruh ibu di dunia ini dengan keluarganya...
"Ibuuu!!!"
seruku dan yeodongsaengku sambil berlari menyusul ibu ke dapur kemudian
mendekap tangan ibu setelah ibu meletakkan baskom tadi ke tempat cuci piring.
Aku yang kanan, dan Shinra yang kiri. Terasa hangat. Aku tidak ingin melepaskan
ini. Sungguh tidak ingin.
"Ya! Kalian
ini." Kekeh ibu.
Aku dan yeodongsaengku
bergelayutan mengikuti arah jalan ibu. Telapak tangannya kami genggam kuat
seakan di sana ada sebuah perekat super yang tidak dapat lepas lagi. Kami
benar-benar ingin bersama ibu...selamanya. terutama aku. Ingin rasanya aku
membayar semuanya apa yang telah ibu berikan kepadaku.
Bau darah segar masih
sedikit tercium dari perut ibu. Tapi ku lihat, dia tidak mengeluh sekata pun.
Aku, Shinra, dan Ibu,
berjanji agar saling melengkapi. Tidak akan pernah ada yang pergi jauh. Tidak
akan pernah ada yang menghilang. Semoga kami selalu bersama.
'Tuhan, jagalah ibuku.'
Batinku. Tidak terasa terasa air mataku hampir menetes. Akan tetapi, aku masih
berusaha pempertahankannya agar tetap berada pada tempatnya.
'Tuhan apakah
yeodongsaengku ini harus menjadi dewasa sebelum waktunya? Bahkan dia masih
perlu pendidikan.' Batinku lagi. Shinra nampak kurang terdidik sekarang. Sudah
tertinggal berapa kali dia untuk sekolah? Pasti dia juga teramat sangat
merindukan canda tawa teman-temannya. Dan mungkin...teman laki-lakinya.
'Tuhan. Kau boleh
mengambilku jika hidupku ini sudah tidak berguna. Akan tetapi, ku mohon.
Biarkanlah aku tetap bernafas jika aku memang masih berkewajiban menjadi kepala
keluarga dari mereka.'
'Tuhan. Selesaikanlah
semua masalah di bumi ini. Aku tidak ingin semua orang tersiksa. Aku ingin
mereka semua hidup bahagia.'
"Oppa, kau tidak
menikah?" celetuk Shinra yang langsung memukul keras semua pikiranku tanpa
disadarinya.
"Menikah? Ya itu ide
yang bagus!" sambar ibu sambil terkekeh geli. Ya, masih dengan kedua
tangannya yang diborgol oleh anak-anaknya itu.
"Aku tidak akan
menikah jika aku harus meninggalkan kalian..." jawabku penuh kepastian.
Secara tiba-tiba, ibu
melepaskan tangan kami yang tadinya bergelayutan. Matanya berlinang. Memeluk
kami dengan erat. Terdapat beberapa isakan di dalamnya. Aku, Shinra, Ibu,
saling membanjiri pipi masing-masing. Seakan kami hendak berpisah. Tetapi tidak!
Sekali lagi tidak! Kami menumpahkan segala jenis kesedihan milik kami saat ini
juga. Kesedihan yang telah lama kami pendam sedalam-dalamnya di dalam hati
mungil kami. Saling memeluk, menggenggam tangan yang terasa dingin.
KAPAN NEGERI INI AKAN
DAMAI?!
–—–––––Eomma—––––––
++ChocoYeppeo Present++
Ibu, maafkan aku. Aku
harus pergi.
Mungkin aku bisa dibilang
aneh karena aku berpamitan kepada orang yang masih tertidur lelap. Jauh sebelum
fajar datang tentunya.
Tekadku sudah bulat. Aku
akan pergi mengikuti pertempuran ini.
–—–––––Eomma—––––––
++ChocoYeppeo Present++
♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫
Mengapa
tidak ada jawaban?
Mengapa
kita diam-diam bersembunyi begitu lama
♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫♪♫
Ku kira, aku beruntung
karena setelah kurang lebih hampir 1 hari penuh ini aku masih bisa selamat.
Meskipun sekarang tubuhku penuh luka, tapi sebuah kehidupan sudah lebih dari
cukup bagiku.
CKLEK
Aku masuk ke tempat pengap
ini lagi. Ke rumahku.
"Oppa!"
yeodongsaengku lari terbirit-birit menuju aku yang saat ini sedang meletakkan
semua perlengkapan berperangku. Yeodongsaemgku menarik tanganku kuat dan
mengajakku segera ke tempat yang lebih dalam.
"Haaahh?" aku
menarik nafasku panjang.
"Eomma!" aku
memangkunya. Memangku tubuh yang telah terkulai itu. dengan sedikit suara
isakanku dan Shinra.
Eomma, kenapa kau
meninggalkan kami? Bagaimana dengan janji kita? Bagaimana kami bisa berjalan ke
masa depan tanpamu lagi? Tanpa orang tua?
"EOMMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"
.
.
.
END~
more stories : chocoyeppeo
more stories : chocoyeppeo
No comments:
Post a Comment